Minggu, 09 Mei 2010

ETIKA DALAM BERPOLITIK

SEPERTI BIASA NDAK ANEH LAGI BILA KITA MEMDENGAR STATEGI PARA CALON PEMIMPIN MULAI DARI LEGIS LATIF TINGKAT KABUPATEN SAMPAI PROPINSI. BAHKAN UNTUK PEMILIHAN CALON KEPALA DAERAH TINGKAT SATU DAN DUA..TANGGAL 9 MEI 2010 KEMAREN

Sabtu, 08 Mei 2010

TUGU LOBAK

PERNAH KAH ANDA MEMBAYANGKAN LOBAK YANG SERING ANDA BUAT MENJADI SAYUR UNTUK SANTAPAN KELUARGA ANDA. MERUPAKAN SALAH SATU HASIL TANAMAN PETANI YANG BERASAL DARI KOTA DINGIN ALAHAN PANJANG KABUPATEN SOLOK SUMATERA BARAT.
SEKARANG BILA ANDA PERGI BERLIBUR KE SANA MAKA AKAN ANDA TEMUKAN BOLA RAKSASA YANG MENJULANG DI JANTUNG KECAMATAN LEMBAH GUMANTI
DAN SEKARANG DI ABADIKAN MENJADI 'TUGU LOBAK'

Alahan Panjang Punya Negarawan

Mohamad Natsir, pada 17 Juli 1908 tepatnya Kampung Jambatan Baukia Alahan Panjang, negeri dingin di balik Gunung Talang Solok. Putra Sutan Sari Pado dan Khadijah yang kemudian menjadi tokoh nasional bahkan aset internasional dari berbagai segi: agama, politik, sosial budaya, ilmu pengetahuan, keteladanan, pemikiran, bahkan menjadi mata air kajian ilmiah dalam berbagai seminar, simposium, untuk skripsi, thesis serta disertasi para doktor berbagai disiplin ilmu.

Masa kanak-kanak beliau lalui di tengah pergolakan pemikiran para tokoh besar pembaharu dari Ranah Minang. Belajar di pendidikan dasar Sekolah Belanda, Bapak Mohamad Natsir kecil dengan tekun mengikuti gebrakan para tokoh besar di negerinya. Dari usia delapan tahun (1916) sampai 15 tahun (1923) Mohamad Natsir remaja menggali kekayaan para ulama itu di HIS Adabiyah Padang dan Madrasah Diniyah Solok.

Mohamad Natsir aktif dalam Jong Islamiten Bond Padang sewaktu melanjutkan pendidikan ke MULO Padang tahun 1923. Masih dalam jalur pendidikan Belanda, beliau melanjutkan pendidikan ke AMS (A2) di Bandung. Kesempatan tersebut membawa beliau berkenalan dengan ustaz A. Hassan, tokoh PERSIS (Persatuan Islam) garis keras, yang membimbing beliau melakukan studi tentang Islam. Dengan ustaz ini beliau mengelola majalah “Pembela Islam” sampai tahun 1932.

Mohamad Natsir secara formal mengikuti pendidikan barat di sekolah-sekolah Belanda. Beliau selesaikan pendidikan Al Gemene Middel School di Bandung dalam kajian Kesusastraan Barat Klasik. Sebenarnya beliau punya kesempatan memperoleh besiswa untuk melanjutkan sekolahnya ke Leiden pada pendidikan yang lebih tinggi. Namun beliau memilih mendalami kajian keagamaan melalui ustaz A. Hassan yang dikenal dengan ulama yang berpaham radikal dan jadi sesepuh organisasi sosial keagamaan.

Beliaupun menolak tawaran bekerja sebagai pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda dan lebih tertarik menekuni dunia pendidikan. Obsesi itu membuat ia mendirikan Yayasan Pendidikan Islam di Bandung sekaligus menjabat Direktur dari tahun 1932-1942. Keluasan wawasannya mencuat kepermukaan setelah dapat menguasai beberapa bahasa asing sebagai alat untuk menggali buku-buku tokoh kelas dunia. Bapak Mohamad Natsir mulai berkecimpung dalam dunia politik setelah beliau menjadi anggota PII (Partai Islam Indonesia) pada awal tahun 40 an, memimpin organisasi yang terkenal radikal untuk bumi pancasila.

Majelis Al Islam A’la Indunisiya (MIAI) semakin berkiprah setelah kepemimpinannya. Bahkan dalam masa penjajahan Jepang ( 1942-1945) sesepuh dari berbagai kalangan ini masih sempat jadi kepala bagian di Pemerintahan Daerah Bandung sekaligus merangkap sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta.

Di samping itu, saat Pemerintah Jepang berkuasa di negeri Ini, terbentuklah Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) di bawah kepemimpinannya. Kiprah politiknya semakin menanjak semenjak beliau tampil jadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tahun 1945-1946 dan menjabat anggota DPR Sementara di tahun 1948 menjabat sebagai Menteri Penerangan.

Karier politiknya sampai ke puncak ketika ia dilantik menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia. Peranan beliau amat menentukan dalam penyelamatan untuk tetap mempertahankan bentuk Republik sesuai dengan amana Proklamasi 1945, pada tahun 1950-an. Mosi Integrasinya adalah manuver politik yang mengantarkan dia menjadi Perdana Menteri pada usia 42 tahun. Kariernya sebagai politikus mengalami pasang surut setelah bergesekan dengan dinding kekuasaan Demokrasi Terpimpin, yang menjadikan angin segar bagi Komunis pada saat itu.

Di tengah gelombang politik yang semakin menggelora, Moh. Natsir berada di “tengah-tengah arus” oposan yang digalang oleh para Panglima militer di berbagai daerah dengan wujud PRRI ( Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Dengan hadirnya beliau di barisan oposisi ini, konflik semakin merebak hingga agresi fisik dan bentrokan senjata tidak bisa dihindari. Dengan “dalih” tuduhan subversif, Bapak Mohamad Natsir terpaksa meringkuk di belakang terali besi selama 7 tahun, tanpa proses peradilan di Batu Malang Jawa Timur. Status sebagai tahanan politik berakhir tahun 1966 di Rumah Tahanan Militer (RTM), Jakarta.

Mohamad Natsir menghirup udara kebebasan setelah Presiden Soekarno jatuh dari kursi kepresidenannya. Sebagai seorang panutan umat, ia selalu tampil untuk menyuarakan nurani umat, kendatipun kadang-kadang dengan mempergunakan nama samaran. Dengan menggunakan nama samaran Moechlis di majalah “Pembela Islam” awal tahun 1930?an. Ia tampil meneriakkan berbagai masalah umat yang berkaitan dengan hubungan inter dan antara umat beragam, politik, kebudayaan, ekonomi dan berbagai dilema yang tersentuh oleh realitas yang kadang-kadang sempat menyentuh hal-hal sensitif sehingga ia harus berhadapan dengan pemegang kekuasaan.

Sejak tahun 1967, di samping sebagai Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) sampai akhir hayatnya, kepiawaiannya sebagai seorang pemikir dan aktivis dakwah tidak hanya bergema di negeri tercinta ini akan tetapi menjulang tinggi dalam harokah (pergerakan) Islam International. Aktif sebagai anggota Muslim League Makkah (1969-1993), berkiprah di Majlis A’la Al Alamy li Masjid di Makkah kemudian menjabat wakil presiden World Moeslim Congress (Muktamar Alam Islami) Karachi di Pakistan (1967-1993). Juga ikut membidani The International Islam Charitable Foundation, Kuwait dan Oxford Center For Islamic Studies di Inggris.

Karya-Karya Muhammad Natsir

Banyak karya tulis yang ditinggalkan oleh Muhammad Natsir, baik yang terkait dengan dakwah atau pemikiran. Sebagian telah diterbitkan dalam bahasa Arab dengan jumlah lebih dari 35 buah buku, diantaranya adalah Fiqhud Da’wah (Fikih Dakwah) dan Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih salah satu dari dua jalan). Disamping itu masih banyak ceramah, riset, makalah Muhammad Natsir yang tersebar dan tidak dapat dihitung. Muhammad Natsir pulang kerahmatullah pada tanggal 5 Februari 1993, beliau meninggalkan keteladanan untuk generasi muda.